Baca juga artikel lainnya.
Massagetheatre.com – MI (10), seorang siswa kelas IV Sekolah Dasar Yayasan Abdi Sukma di Kota Medan, Sumatera Utara, menjadi perbincangan setelah video dirinya duduk di lantai kelas karena menunggak biaya sekolah selama tiga bulan viral di media sosial. Kisah ini memancing perhatian publik hingga menarik bantuan dari berbagai pihak. Kamelia (38), ibu dari Mahesya, tak kuasa menahan tangis saat mendapati anaknya duduk di lantai keramik sejak 6 Januari hingga 8 Januari, tanpa diizinkan mengikuti pelajaran. “Saya sempat nangis, ‘Ya Allah, kok begini sekali.’ Saya lihat anak saya duduk di lantai, nggak boleh belajar,” ungkapnya dengan suara bergetar, Jumat (10/1). Sebagai relawan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP), Kamelia aktif membantu masyarakat yang kesulitan, termasuk mendampingi pasien.
Namun, kehidupan keluarganya tidaklah mudah. Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan yang merantau, sementara pendidikan anak mereka bergantung pada bantuan dana seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP). “Selama ini uang sekolah anak saya dibayar dari dana BOS dan KIP. Kalau KIP cair, Rp 450 ribu itu saya habiskan untuk biaya sekolah, nggak pernah saya ambil buat yang lain,” ujar Kamelia. Sayangnya, dana KIP itu belum juga cair, sehingga ia belum mampu melunasi SPP anaknya.
Rapor belum diambil
Ketika MI mengadu bahwa ia dihukum karena tunggakan SPP, Kamelia sempat tidak percaya. Namun, setelah mendengar langsung dari teman-teman anaknya, ia bergegas ke sekolah. “Kawan-kawannya bilang, ‘Bu, tolong ambil rapor anak Ibu, kasihan dia duduk di lantai.’ Saya sedih sekali,” katanya. Kamelia merasa perlakuan ini tidak adil. Ia berharap hukuman diberikan kepada dirinya sebagai orang tua, bukan kepada anaknya yang hanya ingin belajar. “Kalau mau menghukum, jangan dia. Saya saja. Anak saya cuma mau belajar,” tegasnya.
Kamelia mengungkap, usai melihat anaknya seperti dipajang dihadapan rekannya, sempat berdebat dengan guru sekaligus wali kelas berinisial HRYT yang memberi hukuman. Diutarakan Kamelia, dengan nada agak ketus, HRYT menyatakan apa yang dilakukan merupakan peraturan yang berlaku di sekolah, yaitu apabila siswa tidak melunasi uang sekolah dilarang ikut belajar. “Kemudian wali kelasnya datang dan bilang ‘kan sudah saya bilang, peraturan yang belum bayar dan lunas tidak dibenarkan ikut sekolah’,” ungkap Kamelia menirukan ucapan guru yang menghukum anaknya. Kemudian, HRYT menyatakan kalau MI sebenarnya disuruh pulang karena orang tuanya belum bayar SPP. Tapi karena bocah 10 tahun itu tak mau pulang, lantas HRYT menyuruh MI duduk di lantai selama berjam-jam.
Sebelum anaknya disuruh duduk di lantai dan tak boleh ikut pelajaran, Kamelia sempat meminta dispensasi kepada wali kelasnya supaya MI bisa ikut ujian semester pada Desember 2024 lalu. Permohonan keringanan ini karena ia tidak punya uang, ditambah sedang sakit. Kemudian, pihak sekolah mengizinkan anaknya ujian meski saat pembagian rapor, tak dibolehkan mengambil.
Ketika masa libur sekolah, sempat ada pengumuman melalui grup WhatsApp yang menyatakan bagi siswa yang belum melunasi uang SPP, uang buku dan remedial dilarang ikut belajar mengajar lagi. Namun pernyataan dikira Kamelia hanya candaan, tidak akan diterapkan. Sampailah pada tanggal 6 Januari 2024, awal mula proses belajar mengajar setelah libur semester. Hari pertama masuk sekolah, MI langsung duduk di lantai. Namun ia tidak menceritakan kepada orang tuanya.
Lalu esok harinya, Selasa 7 Januari, masuk pengumuman serupa. “Ibu-ibu mohon kerjasamanya yang belum menerima raport ataupun belum lunas SPP dan membayar uang buku mohon datang ke sekolah karena tidak dibenarkan anaknya mengikuti pelajaran kalau itu belum selesai,” ungkap Kamelia menirukan. Karena ada pengumuman tersebut, Kamelia mengirimkan pesan suara kepada guru kalau ia belum bisa datang dan esok harinya baru bisa.
Alasan lainnya, ia yang sebagai relawan di Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) sedang membantu mendampingi seorang pasien. “Akhirnya saya voice note, saya izin belum bisa datang. Itulah rencana saya rabunya saya datang karena ada pasien urgent, kan dari semalam berkas belum selesai.” Sesampainya Rabu 8 Januari, pagi ia hendak datang ke sekolah. Namun sebelum datang, ia menyuruh anaknya berangkat ke sekolah lebih dahulu dan ia akan menyusul karena mau menggadaikan handphonenya supaya bisa bayar uang sekolah.
Kamelia berencana memindahkan anaknya ke sekolah lain, kecuali wali kelas HRYT diberhentikan. “Kalau dia masih di sana, anak saya pasti trauma dan proses belajarnya terganggu,” ujarnya. Sementara itu, perhatian publik terus berdatangan. Beberapa relawan telah menawarkan bantuan untuk melunasi tunggakan SPP MI.
Meski begitu, Kamelia berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak agar tidak ada lagi anak-anak yang dipermalukan karena kesulitan ekonomi. “Anak saya hanya ingin belajar. Tolong jangan perlakukan anak lain seperti ini,” pungkasnya. Sementara itu Juli Sari, Kepala Sekolah Yayasan Abdi Sukma, mengakui adanya miskomunikasi antara pihak sekolah dan wali kelas berinisial HRYT.
“Wali kelas membuat peraturan sendiri tanpa konfirmasi. Kami sudah meminta maaf kepada orang tua siswa,” jelas Juli. Sekolah kini sedang mengkaji sanksi terhadap wali kelas tersebut yang kini telah diskors